KEPEMIMPINAN itu memang sepatutnya berproses. Bila, sebuah keluarga besar ingin menjaga regenerasi di antara keluarga, maka itu tidak boleh instan. Tidak tiba-tiba ! tidak hanya dikarenakan turunan atau berdasar kerabat dekat dari pemimpin  sebelumnya. Ada pematangan! Dan, kita tak dapat pungkiri bahwa pemilihan langsung sejak 10 tahun silam, ada saja yang tak lepas dari pengaruh pemimpin yang sedang berkuasa untuk melanjutkan kepemimpinan pada istri maupun anak –anaknya. Walau, terbukti: tidak banyak yang berhasil terpilih.

      Patut disimak bahwa dalam kepemimpinan, ada beberapa tipikal yang dibutuhkan, termasuk kepemimpinan secara kondisional itu memungkinkan. Ada pula kepemimpinan yang hebat disaat situasi kacau dan darurat. Ada seorang pemimpin yang dibutuhkan dengan konsepsi dan akademik, future system, pandangan visi ke depan yang tajam untuk mengantifikasi suatu hal menjadi sesuatu bagian yang penting. Karena itu, kepemimpinan dengan kapabilitas intelektual yang tinggi itu dibutuhkan sebuah kesinambungan. Oleh karena itu justifikasi apapun secara pasti dari kebutuhan. Kebutuhan kepemimpinan tidak bisa di-eksplisit kayak berhitung secara matematika.

      Penting diingat, apalagi kalau itu berkait  dengan kepemimpinan daerah misalnya, bahwa terdapat kepemimpinan politis – pendekatan politis itu tida matematis seperti dua tambah dua itu empat. Namun, kalau pendekatan politis itu adalah pendekatan yang selalu melakukan orientasi kepada frekuensi dan gelombang sesuai dengan kebutuhan, maka artinya dia membutuhkan frekuensi dan juga membutuhkan resonansi yang sekarang maupun yang akan datang. Itulah yang di-manajemen-kan sehingga seperti  apa yang tepat, ditentukan oleh kebutuhan yang ada dan kemampuan-kemampuan yang ada.

      Jujur, saya tidak punya justifikasi yang kuat seperti apa akan pemilihan yang kuat seperti apa akan pemilihan yang melibatkan petahana untuk kesinambungan pemimpin, misalnya dari ayah ke anak. Pasalnya, setiapa wilayah, setiap daerah, setiap momen memiliki kepemimpinannya sendiri dan itu yang harus disiapkan. Kalu tidak tepat, maka pastilah sebuah kegagalan. Sebab, sehebat apapun kepemimpinan kalau kemudian waktu untuk mengejar cara memanajemen dalam hal pencapaiantidak cukup, tentulah akan gagal.

      Kalaulah waktu yang berproses itu dinilai menentkan keberhasilan, tidak juga dapat dipastikan. Tidak sepenuhnya waktu. Tetapi, dia membutuhkan waktu untuk sebuah manajemen yang terukur. Dan, manajemen terukur itu salah satunya, yakni bagaimana mengukur waktu. Oleh karena itu, tidak ada ukuran yang tepat untuk sebuah kepemimpinan yang berskala politik. Intinya, dia membutuhkan frekuensi dan resonansi yang berbau politis di mana segala hal terukur.

 

 

                                                                                          (Makassar, 31 Juli 2014)