POLITIK itu resonansi dan frekuensi ! kalaulah kit amain di are politik , pasti saj tidak 2+2=4 atau matmatis,walaupun tidak harus abu-abu atau main dua kaki. Tetapi tentu, berbagai hitung-hitungan yang mempertimbangkan unsur lain seperti kultural, agama, kekeluargaan,sa-sah saja menjadi alat pengukur capaian politik dalam berpolitik. Yang pasti, ada cara bertindak (CB) 1,CB-2 atau mungkin CB-3 yang terkait dengan minimal dan target maksimal.

            Oleh, karena itu definisi politik seni pengelola kemungkinan,juga menegnal asas kepatutan dan kepantasan,terutama terkait dengan posisi yang di incar dan di jadikan tujuan pencapaian. Contohnya , sangat mungkin seorang mantan wakil bupati kembali bertarung untuk merebut atau menjadikan jabatan wagub sebagai yujuan, meskipun dia harus mendampingi calonbupati yang dulu ketika ia menjadi wahub, calon bupati yang ia dampingi sekarang adalah camat kota bawahanya.

            Inilah politik! Padahal mestinya, asas kepatutan dan kepantasan diperlukan justru untuk menjadikan permainan politik yang serba kemungkinan itu terhindarkan dari persoalan etika elementer dan tidak sekadar hanya fokus pada usaha mengolah kemungkinan untuk menang dan meraih jabatan. Tapi, itulah politik yang memang merupakan seni mengolah kemungkinan untuk menang dan meraih jabatan. Tapi, itulah politik yang memang merupakan seni mengolah kemungkinan untuk melahirkan kemungkinan baru. Jadi, sah-sah saja jika ada yang tidak maksimal mendukung atas nama “sekampung”, dan lain-lain. Intinya, politik itu bukan matematika!

 

                                                (Makassar-Surabaya-yogyakarta, 13 Juni 2014)